Legenda dan Keunikan Sasando: Alunan Harmoni dari Pulau Rote

Di sebuah rumah sederhana di Pulau Rote, Pak Esau kecil sering mencuri waktu untuk memainkan Sasando, alat musik khas daerahnya. Ayahnya tidak melarang, tetapi juga tidak membolehkan. Maka, di saat sang ayah tidak ada di rumah, jemari mungil Pak Esau dengan hati-hati memetik dawai-dawai Sasando, mencoba memahami suara ajaib yang dikeluarkan alat musik tradisional tersebut.

Legenda Sasando: Dari Kerajaan hingga Gembala

Sasando bukan sekadar alat musik, tetapi juga bagian dari sejarah dan legenda masyarakat Rote. Ada banyak kisah tentang asal-usul Sasando, salah satunya adalah versi Kerajaan yang menyebutkan bahwa alat ini pertama kali ditemukan oleh Sangguana, lalu diwariskan kepada anaknya, Nale Sanggu.

Versi lain diceritakan oleh orang tua Pak Esau, bahwa Sasando berasal dari seorang pelaut yang berlayar dari Rote ke Pulau Ndana untuk mempersunting putri raja. Dalam perjalanannya, ia menemukan suara merdu yang menginspirasi penciptaan Sasando.

Namun, ada juga kisah seorang gembala yatim piatu. Saat ia tertidur di padang, ia bermimpi dan melihat bentuk Sasando dari sarang burung. Terbangun dari mimpinya, ia mencoba membuat alat musik dengan bahan akar beringin, lidah buaya, dan ranting pohon. Karya itu kemudian dibawa ke Pulau Ndao, tempat seorang pandai besi membantunya menyempurnakan Sasando.

Sasando yang Hilang dan Larangan Pemuda

Dahulu, alat musik ini memiliki makna sakral. Sasando sering dimainkan dalam ritual kerajaan dan acara penting. Bahkan, terdapat Sasando Loroko yang melambangkan jiwa pengembara. Namun, karena tradisi nomaden, Sasando Loroko menghilang dan tidak ditemukan lagi.

Selain itu, Sasando juga sempat dilarang dimainkan oleh pemuda di bawah 30 tahun, sama seperti Gong. Hal ini karena Gong dan Sasando dianggap sebagai alat musik yang mengiringi momen-momen sakral, termasuk kematian. Suara yang keluar dari Sasando di tengah malam sering dipercaya sebagai pertanda duka. Ayah Pak Esau pernah membuang Sasando milik leluhur mereka karena setiap kali berbunyi sendiri, warga desa mulai bertanya siapa yang akan meninggal berikutnya.

Jenis-jenis Sasando dan Filosofinya

Sasando memiliki berbagai jenis dengan fungsi dan keistimewaan masing-masing:

  1. Sasando Sui – Konon, orang yang memainkan Sasando ini bisa menjadi kaya karena memiliki kekuatan spiritual.

  2. Sasando Masasoa – Digunakan sebagai pemikat di Pulau Ndana serta sebagai tanda terima kasih yang sempat diberikan ke Pulau Ndao, namun akhirnya dikembalikan ke Rote.

  3. Sasando Loroko – Melambangkan jiwa pengembara dan nomaden, kini sulit ditemukan.

Pembuatan Sasando dan Nada yang Unik

Pembuatan Sasando membutuhkan keterampilan khusus. Daun lontar dikeringkan selama seminggu sebelum dirangkai dengan senar dawai dari tembaga dan bambu. Tangga nada Sasando awalnya menggunakan sistem pentatonik dengan lima nada utama. Dawainya dulu hanya berjumlah tujuh, tetapi kini berkembang menjadi sembilan hingga sebelas dawai, bahkan lebih pada versi modern.

Sasando tradisional juga harus disetel mengikuti Gong, alat musik yang memiliki peran penting dalam tradisi Rote. Karena sifat pentatoniknya, tangga nada Sasando tidak memiliki nada "Fa" dan "Si", membuatnya unik dibanding alat musik lainnya.

Sasando Elektronik dan Musik yang Berkembang

Seiring perkembangan zaman, Sasando tidak hanya dimainkan untuk acara duka. Kini, Sasando digunakan dalam berbagai acara seperti pernikahan, pesta, hingga pertunjukan seni internasional. Sasando modern bahkan sudah dikembangkan dalam bentuk elektronik, sering disebut "Sasando Biola" yang lebih fleksibel dan dapat dimainkan dalam berbagai genre musik.

Salah satu lagu terkenal yang sering dimainkan dengan Sasando adalah Ofa Langga, sebuah lagu perpisahan yang memilukan. Lagu ini bercerita tentang seorang pemuda yang harus meninggalkan tunangannya pada tahun 1940-an, saat Jepang menduduki Indonesia dan banyak pemuda dipaksa menjadi romusha.

Sasando dan Warisan Budaya

Kini, Sasando menjadi lebih dikenal luas, terutama berkat orang-orang seperti Pak Agas yang meneliti Sasando hingga jenjang S3 di Selandia Baru. Upaya ini membuka mata dunia tentang keindahan dan kedalaman budaya Pulau Rote.

Pak Esau, yang dulu bermain Sasando secara diam-diam, kini menjadi salah satu penerus yang menjaga tradisi ini tetap hidup. Berkat dedikasinya, alat musik khas ini tetap menggema, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan memastikan bahwa suara indah Sasando tidak akan pernah hilang ditelan zaman.

Komentar

Postingan Populer